Follow Us

|
JADWAL SHOLAT Subuh 04:40:55 WIB | Dzuhur 11:59:10 WIB | Ashar 15:19:22 WIB | Magrib 17:52:17 WIB | Isya 19:04:59 WIB
BERITA UTAMA

Kisah Dokter Muda Asal Indonesia di Garis Depan Penanganan Covid-19 di London

Senin, 01/06/2020 | 08:05 WIB
Reporter: Merdeka Red IT: Firman Wage Prasetyo
Getty Images ©2020 GetarMerdek.com - Petugas kamar mayat London di tengah pandemi. ©2020 REUTERS/Hannah McKay
London, GetarMerdeka.com - Seorang dokter muda asal Indonesia berada di garis depan rumah sakit di kota London dalam melayani dan merawat pasien Covid-19. Dia adalah dokter Ardito Widjono (26), putra pertama pasangan Argo Onny Widjono dan Endang Nurdin.
Sejak akhir Maret lalu, Dito sapaan akrabnya, bertugas di rumah sakit Barnet di London utara. Salah satu rumah sakit yang khusus merawat pasien corona. Saat itu, kasus infeksi Covid-19 di Inggris baru sekitar 17.000 dengan jumlah meninggal sekitar 1.000 orang.
"Tak ada yang bisa memprediksi kapan corona berakhir," kata Dito kepada ANTARA di London, Minggu (31/5).
Dito yang berhasil menyelesaikan pendidikan pada 2017 di program studi kedokteran King's College London, awalnya bertugas di bagian ortopedi atau bedah tulang. Lalu dia dipindah tugas untuk menangani bagian gawat darurat Covid-19.
Para dokter khusus menangani Corona yang bertugas di rumah sakit Barnet, mendapat tempat tinggal semacam asrama di dekat rumah sakit supaya mereka tidak menulari keluarga.
"Menjelang akhir Maret 2020, setelah menghabiskan empat bulan bekerja di bedah ortopedi, saya menerima email dari direktur medis rumah sakit yang menjelaskan bahwa saya akan dipindahtugaskan ke bagian gawat darurat," katanya.
Sebagian besar dokter junior dari berbagai spesialisasi medis dan bedah, membentuk satu tim tenaga kerja yang bersatu melawan Covid-19. Dito tidak khawatir dan mempermasalahkan pemindahan tugas. Dia justru bangga.
"Saya senang dengan kepindahan tersebut dan saya merasa bisa berada di tempat yang paling dibutuhkan dan saya bangga akan dapat menggunakan keterampilan saya untuk membantu para penderita penyakit yang belum ada obatnya," ujar Dito.
Dito melanjutkan ceritanya. Tugasnya di garis depan corona bertepatan dengan minggu pertama saat puncak kasus corona melanda Inggris. Pada hari pertama bertugas, dia merasa seperti memasuki tugas militer dengan pengarahan sebelum pergi ke laga pertempuran.
Lusinan dokter junior dan senior berkerumun di ruang khusus untuk merumuskan rencana tugas dan tanggung jawab.
"Banyak dari kami belum pernah melihat pasien dengan gejala Covid-19 sebelumnya dan beberapa dari kami tidak bekerja di bangsal medis selama bertahun-tahun," katanya.
Namun demikian, sebagian besar dari para dokter itu bersemangat untuk menghadapi tantangan sekali seumur hidup ini.
Kejadian yang Memilukan
Tak semua rencana kerja yang disusun berjalan lancar. Dalam praktiknya, banyak kejadian yang tak diduga sebelumnya. Sepertiga tenaga dokter harus mengisolasi diri karena diduga tertular corona. Akibatnya, setiap pagi ada perombakan besar komposisi dokter yang bertugas. Semua ini untuk mengisi kekosongan dalam unit kerja dan memastikan bahwa setiap lingkungan satuan kerja memiliki staf yang memadai.
Setiap berjalan melewati lingkungan pasien corona, Dito selalu merasakan ketegangan. Ada potensi bahaya di balik setiap pintu kamar pasien Covid-19. Apalagi para petugas medis masih diliputi kekhawatiran karena minimnya alat pelindung diri (APD).
Rumah sakit-rumah sakit di Inggris sempat kekurangan APD sehingga dokter dan petugas medis disarankan menggunakan ulang APD yang telah dipakai. Padahal standar medis mengharuskan sekali pakai dan buang. Namun kekurangan itu segera diatasi oleh otoritas kesehatan di Inggris dengan mengimpor APD dalam jumlah besar dari China.
"Terlepas dari situasi keterbatasan APD, kami semua bertekad untuk memberikan pasien kami perawatan terbaik, " katanya.
Dito yang sempat jadi pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom dan pengurus Young Indonesian Professionals Association (YIPA) mulai terbiasa merawat pasien corona setelah beberapa hari bertugas.
"Kami merasa lega mendapati bahwa sebagian besar pasien kami membaik dan akhirnya dipulangkan. Tetapi bagi mereka yang memburuk, itu adalah pilihan yang sulit antara perawatan intensif atau tinggal di bangsal untuk perawatan paliatif, memastikan mereka bisa senyaman mungkin meskipun menjelang akhir hidup mereka," katanya.
Para dokter harus menelepon kerabat pasien setiap hari untuk menginformasikan tentang perkembangan dan mencoba memberikan kepastian. Namun Dito mengakui jumlah kematian akibat corona tidak seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya.
Hampir setiap hari para dokter menyampaikan berita seorang pasien meninggal lewat telepon. Ini merupakan beban yang memilukan.
"Saya sering menghabiskan malam hari untuk berdoa agar semua ini segera berakhir."
#Virus Corona Covid-19 #Corona
[gmc/mdk/noe/tim]

Indonesia Satu

Merdeka Network


ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT