Pilkada dan Pemilih Rasional
Kolom: Budi Prayitno - detikNewsKamis, 05/09/2024 | 16:35 WIB | NEWS
Reporter: Getar Merdeka Red IT: Firman Wage Prasetyo
Foto ilustrasi: Pradita Utama Getty Images © 2024 GetarMerdeka.com
Jakarta — Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024, konstelasi politik menjelang pemilihan kepala daerah serentak mengalami perubahan. Putusan MK tersebut menurunkan syarat ambang batas pencalonan. Dari sebelumnya, untuk mengusung calon, parpol atau gabungan parpol harus memiliki minimal 20 persen jumlah kursi atau 25 persen suara sah, menjadi berkisar 6,5-10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap.
Turunnya syarat ambang batas membuat sejumlah partai politik yang sudah membangun koalisi berbalik badan untuk mengusung calonnya sendiri. Kondisi ini patut disyukuri karena peluang munculnya calon kepala daerah alternatif terus bermunculan. Partai politik selaku kontestan pilkada mestinya menghargai peluang ini dengan menghadirkan kandidat yang mumpuni dengan rekam jejak yang paripurna sebagai pemimpin. Meskipun kita memahami bahwa kontestasi selalu berbicara mengenai kekuasaan politik dan uang. Namun dalam kerangka yang lebih luas, ada kepentingan masyarakat yang harus diperjuangkan. Bukan hanya kepentingan sempit para kandidat dan partai politik pengusung.
Keputusan MK tentang ambang batas pencalonan merupakan jalan keluar untuk memotong legitimasi normatif tawar menawar politik yang selama ini terjadi. Tawar menawar inilah akar masalah bagaimana distribusi kekuasaan dan pihak yang diuntungkan hanya berputar kepada mereka yang ada di lingkaran pemenang. Sementara masyarakat selaku pemilik suara hanya dianggap sebagai 'penggembira' semata usai gelaran kontestasi.
Elektabilitas
Berbicara kontestasi semestinya tidak hanya berbicara mengenai masalah popularitas atau peluang keterpilihan kandidat semata. Kalah-menang dalam kontestasi politik adalah hal yang biasa. Hal utama yang harus dikedepankan adalah bagaimana partai politik pengusung pasangan calon menawarkan kandidat yang memang memiliki rekam jejak yang bagus, kompeten, dan menguasai permasalahan, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, budaya, manajerial ataupun teknis.
Elektabilitis dan popularitas tinggi yang tidak dibarengi dengan kemampuan untuk 'mengemudikan' roda pemerintahan pada akhirnya hanya merugikan masyarakat. Partai politik sebagai instrumen demokrasi wajib memikul tanggung jawab moral ini dengan menyodorkan calon pemimpin yang mumpuni ke hadapan pemilih. Kenapa hal ini penting? Kita mahfum budaya dan perilaku politik saat ini menunjukkan kemampuan politik masyarakat kita masih belum sampai pada tahap rasional.
Bagi sebagian besar masyarakat, keterlibatan mereka dalam politik hanya sebatas memberikan suaranya pada saat pemilu. Tidak jelas apakah keputusan memberikan suara pada saat pemilihan didasarkan pada evaluasi rasional terhadap kandidat calon, partai politik pengusung, dan posisi isu keseharian terhadap mereka.
Banyak pemilih yang pada dasarnya tidak siap ketika menghadapi kompleksitas politik, pertarungan isu, jargon, dan psywar di antara para kandidat. Sehingga pada akhirnya keputusan menentukan pilihan di bilik suara bergantung pada jalan pintas dalam menentukan keputusan politiknya yaitu loyalitas partisan, politik uang, ataupun isyarat kelompok. Kondisi ini tentu jauh panggang dari api dengan teori demokrasi klasik yang mengasumsikan bahwa proses pengambilan keputusan rasional oleh para pemilih didasari kelengkapan informasi yang dimiliki para pemilih terhadap kandidat calon.
Berangkat dari kondisi itu, pilkada langsung serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November mendatang dengan biaya sebesar Rp 27 triliun lebih dan diikuti sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota itu harus menjadi ajang pembuktian bagaimana demokrasi yang dibangun pasca-Reformasi menemukan kedewasaannya, tidak hanya dari sudut partai politik, tetapi juga pemilih.
Para kandidat yang berlaga pun harus mampu menjual gagasan mereka dalam debat-debat politik yang berkualitas sebagai prasyarat untuk memberikan pemahaman yang mencerahkan kepada para pemilihnya. Bukan waktunya wajah politik Indonesia dalam kontestasi hanyalah penjumlahan vektor-vektor kekuatan politik dan pengumpulan suara semata. Pemilih bagaimanapun perlu memiliki preferensi yang lebih lengkap terhadap citra dan posisi isu dari para kandidat sebelum menentukan pilihannya agar mereka dapat memilih dengan tepat.
#Budi Prayitno Analis Kebijakan Ahli Muda – Lembaga Administrasi Negara (LAN)
Sumber: detikNews/ Kolom[gmc/dtc/mmu/ro1/adv]SHARE